Lanjutan dari Pamitkan dengan tulisan
Aku tahu Aries pasti bertanya-tanya ketika aku mengatakan bahwa sejak dua bulan terakhir dan sampai saat ini aku sebutkan sebagai hal terberat yang kulalui. Bahkan selama tujuh tahun yang kulalui tak pernah aku sekacau ini. Kecemasanku terhadap diriku sendiri dan Aries, kebimbangan luar biasa dan kekacauan yang luar biasa dalam hati ku. Aku sedikitpun tak punya hati untuk melukai orang yang sudah menemaniku dan mengisi waktu-waktuku selama sembilan tahun dalam dekat maupun jauh. Sejak detik ini aku sangat ingin memandang Aries, tapi aku ragu, entah apa yang dia pikirkan sekarang, seperti apa expresi wajahnya, sungguh aku tak punya keberanian untuk menoleh ke arahnya, dia bahkan tak bersuara sedikitpun kecuali hembusan nafas panjangnya sesekali terdengar bagai angin berhembus yang menoyak dedaunan.
Suatu pagi di awal bulan Mei aku pertama kalinya mengelilingi ke perkebunan langsung menggunakan mobil milik perkebunan. Mobil double kabin yang besar, karena diameter rodanya yang kira-kira mencapai bahuku. Hari itu aku pertamakalinya menjalani tugas baruku yaitu sebagai staff pengawas perkebunan, sebut saja aku naik jabatan dari yang sebelumnya yaitu admin atau kerani orang disini menyebutnya. Sebagai staff pengawas anyar, aku harus belajar banyak tentang tugas-tugas baru. Tentu saja tidak sendiri, seorang asisten kepala ditugaskan membimbingku di awal training sebagai staff pengawas. Hasan, laki-laki yang usianya terpaut dua tahun diatasku, kelahiran Semarang dan juga sudah enam tahun bekerja di perkebunan. Hanya saja dia datang kesini membawa gelar sarjana sehingga awal karirnya di perkebunan dia sudah menempati posisi atas dan kini menjadi asisten kepala.
Sampai disini aku tak tahu aku harus melanjutkan ceritaku atau aku harus menyampaikan tujuan utamaku, aku hanya khawatir Aries nantinya mengira aku mencari pembenaran atas semua yang terjadi. Sampai saat ini dia belum bersuara, dan aku pun tak punya nyali untuk menoleh kearahnya.
Kau harus tau Aries, semua yang terjadi ini sama sekali bukan kemauanku, dan bahkan aku pun tak mengiranya. Kedekatanku dengan Hasan hanya sebatas partner kerja, sebagai seorang wanita aku tahu bahwa dari awal kami bertemu, berkenalan, dan bekerja bersama, aku melihat gestur laki-laki yang sedang tertarik kepada wanita. Sesering apapun aku menolak ajakannya untuk sekedar makan siang berdua, dia tetap dengan sopan menawarkan hal-hal kecil sperti minuman atau makanan ringan saat kami dalam jeda pekerjaan. Aku tahu dia laki-laki yang lembut, baik, sopan, namun aku tak ingin membuka hati untuknya karena aku tahu bahwa hatiku ini milik Aries, yang saat itu sedang jauh dariku.
Belum sebuah suarapun kudengar dari Aries yang kini ada disebelahku. Aku tak ingin membuat Aries bertanya-tanya lebih lama lagi, aku ingin dia mengetahui semuanya dengan segala resikonya. Tak sampai hati aku mengatakannya, namun kejujuran merupakan prinsip untukku, mungkin seperti yang sudah Aries duga, atau bahkan sebaliknya. Beberapa minggu dalam masa training sebagai staff pengawas, sekuat apapun aku mengunci pintu hatiku, waktu-waktu yang kulewati dengan Hasan seolah mengikis pintu yang aku kunci rapat. Hasan seolah merebut hatiku, aku tak tahu bagaimana ini semua bisa terjadi. Bahkan dua bulan yang lalu, hari dimana dia menyatakan perasaannya kepadaku dan mengatakan bahwa dia ingin menikahiku, aku hanya diam dan tak memberi jawaban kepadanya. Betapa aku tak bisa menolaknya, walaupun aku juga tidak mengatakan iya. Jangankan untuk memberi Hasan jawaban, aku sendiri pun tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyan dari diriku sendiri.
"Ay, aku mau keluar dulu ya beli rokok"
Bagaikan disambar petir aku mendengarnya, tiba-tiba Aries berbicara.
Dia sudah sempat berdiri dan membalikkan badan, kutarik bagian belakang kaosnya dan mencoba menahan kepergiannya.
"nanti aja ay ngerokoknya"
Dia mengangguk dengan expresi datar dan duduk kembali, aku tak berani menatap wajahnya dengan lama, dalam dialog singkat tadi aku hanya sekali mencuri kesempatan melihat expresinya. Aku tahu dia mencoba tenang, walau aku melihat ketidak nyamanan yang luar biasa terpancar diwajahnya. Tak ada isyarat yang mencolok, tapi aku sangat yakin dia sedang dalam keadaan yang sangat kacau. Tak sanggup rasanya meneruskan, tapi aku tak mau membuat Aries dalam keadaan ini lebih lama lagi.
Aries harus tau segala kondisinya, dan akupun siap atas segala resikonya. Aku merasa menjadi orang yang paling jahat yang pernah ada dimuka bumi ini karena membuat Aries harus membaca apa yang sangat tidak ingin dia baca. Seandainya Aries ingin memaki-maki aku pada saat ini, rasanya sangat wajar dan akupun akan lebih dari sekedar rela jika itu memang ingin dilakukannya.
Tapi harus Aries tahu, sampai detik ini aku belum sekalipun mengatakan kepada hasan bahwa aku bersedia menikah dengannya. Bukan untuk mendapatkan predikat setia atau sekedar untuk mengulur waktu sampai Aries tahu. Tapi aku masih ingin berjuang untuk menjaga sembilan tahun waktu yang kujalani bersama Aries. Aku masih ingin apa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi, aku tak ingin mengacaukan semua rencana-rencana kami, aku masing ingin melanjutkan perjuangan sembilan tahun bersama Aries, aku ingin menjalani tahun kesepuluh bersamanya, dan tahun-tahun setelahnya.
Aku masih sangat menghargai kebersamaan kami dari awal, sampai hari ini.
Namun rasanya tak mungkin karena pada kenyataannya saat bersamaan dengan cutiku beberapa hari lalu, Hasan ternyata datang kerumahku dan dengan terang-terangan mengutarakan maksudnya kepada orang tuaku. Rasanya singkat sekali, padahal selama dua hari setelah kedatangan Hasan, keluargaku mengadakan perundingan bahkan sampai keluarga besar, hampir semua keluarga besarku ingin kami menerima lamaran hasan, hanya sebagian kecil saja yang tidak berpendapat. Ayahku tampak tidak ingin mengecewakan keluarga besar, dan ibuku salah satu orang yang kenal dan cukup dekat dengan Aries hanya diam dan terlihat muram, tersirat kebingungan dimatanya yang sayu di sepanjang perundingan. Dan keputusan untuk menerima Hasan sebagai calon menantu ayahku adalah hasil final perundingan keluarga besarku. Entah perasaan seperti apa yang harus kugambarkan, rasanya tak ada lagi perumpamaan yang tepat.
Tak seberapa terasa air mata yang dari tadi sudah bercucuran ini, dibanding dengan hatiku yang entah sedang merasakan apa sehingga sesaknya sangat terasa. Maafkan aku, aku menoleh ke Aries, aku melihat dia sedang menunduk sembari menutup hidung dan mulutdengan punggung pergelangan tangannya. Dahinya berkerut, matanya terlihat sayu dan kelopaknya yang nampak berat, namun bola matanya yang seolah kebingungan kemana harus memandang mengisyaratkan bahwa dia tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Kali ini aku cukup lama memandangi Aries, sampai pada akhirnya dia sadar aku sedang memperhatikannya. Dia terbatuk ringan, menatap kearahku dengan mata yang berkaca-kaca, kemudian berdiri sambil memakai jaketnya. Sebelum mencoba mengatakan sesuatu dia nampak beberapa kali mengirup nafas panjang, aku hanya mampu sesekali menatap wajahnya dengan air mata yang terus mengalir. Aries mengatakan dia ingin mengatakan sesuatu dan ingin aku menyertakan nya didalam tulisanku, aku mengangguk menurutinya dan bersiap mengetik apa yang akan dia katakan.
" Jangan mengasihaniku lebih jauh lagi, aku tak ingin siapapun yang membaca tulisanmu ini ikut mengasihiniku karena terbawa oleh kalimat-kalimat dramamu yang menempatkanku pada sosok yang sedang hancur berantakan karena kekasihnya akan menjadi milik orang lain. Memang tak bisa dipungkiri aku memang hancur, aku juga berantakan, bahkan mungkin lebih dari itu. Jika harus mengumpamakan, aku rasa seperti tertimpa runtuhan langit dihari yang cerah, atau terkubur dalam tanah longsor pada saat kemarau, sungguh tak ada yang mengira. Tapi aku tak ingin hidupku sebencana itu, aku masih tetap akan menjalani hidupku, begitupun denganmu. Aku tak tahu akan sampai beberapa lama lagi akan mencintaimu, kuharap tak lama lagi. Mungkin setelah aku pulang dari sini, atau seminggu kemudian, atau lebih lama lagi sampai kalian melaksanakan pernikahan, atau bahkan selamanya aku aku akan tetap mencintaimu pun aku tak tahu. "
Semuanya cukup jelas ay, kamu ga salah. Ini hanya persoalan waktu yang memang kadang harus terbuang sia, sia. Kamu harus bahagia sama Hasan, Aku belum mengenalnya, tapi dari ceritamu aku tahu dia orang yang baik, orang yang tepat untukmu, lebih siap secara apapun dibanding aku.
Hanya satu permintaan terakhirku sebelum aku pulang, Bahagialah !!! "
" Oh ya, kolom judul tulisan ini masih kosong, bagaimana kalau diberi judul
" Pamitkan dengan tulisan "
Aku pamit ay, salam ya buat ibuk.. Assalamualaikum...
0 komentar:
Posting Komentar